Selasa, 04 Juni 2013

Bagaimana Mengurus Perceraian Tanpa Advokat?



1.      Anda bisa saja melakukan proses perceraian tanpa didampingi oleh advokat atau kuasa hukum. Bila menurut Anda hasil yang akan diraih terbilang cukup optimal dengan mengurus sendiri, proses perceraian bisa saja dilakukan tanpa didampingi advokat. Namun, biasanya para pihak merasa perlu didampingi advokat, karena awam soal hukum serta belum tahu mengenai prosedur persidangan.
 
Di sisi lain, peran advokat sebenarnya tidak hanya untuk mewakili para pihak saat beracara. Advokat juga dapat menjembatani dialog antara para pihak yang akan bercerai dalam membicarakan segala kesepakatan yang ingin dicapai misalnya, tunjangan hidup, hak asuh anak dan hal-hal penting lainnya.
 
2.     Untuk perceraian tidak ada standar baku mengenai biayanya. Biaya panjar perkara untuk perceraian ini bergantung pada pengadilan mana Anda akan mengajukan perceraian tersebut. Biaya untuk jasa advokat pun bergantung pada kesepakatan antara klien dengan advokat. Umumnya, advokat menawarkan jasa hukum dua macam skema pembayaran yaitu secara lump sum (pembayaran tunai) atau hourly-basis (dihitung per-jam). Klien dapat menentukan skema mana yang cocok dengan kemampuan dan kebutuhannya. Lebih jauh simak artikel kami berjudul Biaya Cerai.
 
Pada umumnya proses perceraian akan memakan waktu maksimal 6 (enam) bulan di tingkat pertama, baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama.
 
Untuk mengajukan gugatan cerai, dibedakan bagi yang beragama Islam gugatan diajukan ke Pengadilan Agama dan bagi yang beragama selain Islam gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri. Mengenai tata cara perceraian ini lebih lanjut dijelaskan oleh Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Indonesia sebagai berikut:
 
Tata cara perceraian di Pengadilan Negeri:
·         Gugatan cerai diajukan oleh penggugat atau kuasanya di pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat, kecuali tergugat tidak diketahui tempat kediaman atau tergugat di luar negeri sehingga gugatan harus diajukan di pengadilan tempat kediaman penggugat;
·         Pemeriksaan gugatan oleh Hakim;
·         Perceraian diputus oleh Hakim;
·         Putusan perceraian didaftarkan kepada Pegawai Pencatat.
 
Tata cara perceraian di Pengadilan Agama :
Dalam hal suami sebagai pemohon (Cerai Talak):
·         Seorang suami yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak di Pengadilan tempat kediaman termohon (istri). Kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon;
·         Dalam hal termohon bertempat tinggal di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon;
·         Dalam hal pemohon dan termohon bertempat tinggal di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat;
 
Dalam hal istri sebagai penggugat (Cerai Gugat) :
·         Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat (suami);
·         Dalam hal penggugat bertempat tinggal di luar negeri maka gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat;
·         Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat tinggal di luar negeri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat;
 
Proses selanjutnya baik untuk Cerai Talak maupun Cerai Gugat adalah:
·         Pemeriksaan oleh Hakim;
·         Usaha perdamaian oleh Hakim terhadap kedua belah pihak (mediasi);
·         Dalam hal kedua belah pihak sudah tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, ikrar talak diucapkan atau perceraian diputus;
·         Penetapan Hakim bahwa perkawinan putus;
·         Putusan perceraian didaftarkan kepada Pegawai Pencatat.
 
3.      Mengenai hak asuh anak, pengadilan biasanya memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak di bawah umur kepada ibu. Dasarnya, Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Setelah anak tersebut berusia 12 tahun maka dia diberikan kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya.
 
Menurut pengajar hukum Islam di Universitas Indonesia, Farida Prihatini dalam artikel “Hak Asuh Harus Menjamin Kepentingan Terbaik Anak, sebaiknya hak asuh anak diberikan kepada ibunya bila anak belum dewasa dan  belum baligh. Karena ibu secara fitrahnya lebih bisa mengatur anak dan lebih telaten mengasuh anak. Tapi, menurutnya, hak asuh anak juga tidak tertutup kemungkinan diberikan kepada sang ayah kalau ibu tersebut memilki kelakuan yang tidak baik, serta dianggap tidak cakap untuk menjadi seorang ibu, terutama dalam mendidik anaknya.
 
Mengenai nafkah bagi anak setelah cerai, sesuai Pasal 41 huruf b UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jika terjadi perceraian maka bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Akan tetapi, masih menurut pasal yang sama, hal tersebut juga melihat pada kemampuan bapak. Apabila bapak tidak dapat memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
 
Jadi, apakah Anda akan mendapatkan hak asuh anak atau tidak, sepenuhnya akan menjadi kewenangan Hakim yang memutus dengan mempertimbangkan berbagai hal yang, di antaranya, telah kami terangkan di atas.
 
 
Demikian jawaban dari kami, semoga menjawab hal-hal yang ditanyakan.
 
Dasar hukum:
4.      Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

Sumber:  @klinikhukum
 
»»  READMORE...

Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana


Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
 
Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
 
1.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2.    Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3.    Bertentangan dengan kesusilaan
4.    Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
 
Mencermati perluasan dari unsur “melanggar hukum” dari Pasal 1365 BW tersebut di atas, dalam praktek, Pasal 1365 BW sering disebut sebagai pasal “keranjang sampah”. Demikian menurut Rosa Agustina.
 
Sedangkan, dalam konteks hukum pidana, menurut pendapat dari Satochid Kartanegara, “melawan hukum” (Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi:
 
1.    Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2.    Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum (algemen beginsel).
 
Lebih lanjut, Schaffmeister, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 168, berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di dalam rumusan delik yang menjadi bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus” (contoh Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum” sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum secara umum” (contoh Pasal 351 KUHP). 
 
Pendapat dari Schaffmeister ini benar-benar diterapkan dalam hukum positif di Indonesia, contohnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”). Dalam Pasal 2 UU Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3 UU Tipikor tidak dicantumkan unsur “melawan hukum”. Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU Tipikor disebutkan:
 
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana
 
Menjawab pertanyaan Anda mengenai perbedaan perbuatan “melawan hukum” dalam konteks Hukum Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Untuk itu, sebagai referensi, saya akan mengutip pendapat dari Munir Fuady dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), terbitan PT. Citra Aditya Bakti (Bandung: 2005), hal. 22, yang menyatakan:
 
Hanya saja yang membedakan antara perbuatan (melawan hukum) pidana dengan perbuatan melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum (perdata) maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.”
 
Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.
 
Dasar hukum:
 
Referensi:
1.    Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Penerbit Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia.
2.    Andi Hamzah. Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia.
3.    Munir Fuady. 2005. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Source:  Klinik Hukumonline
»»  READMORE...

Minggu, 02 Juni 2013

Wajah Kepolisian Kita




Kepolisian merupakan institusi penegak hukum yang paling familiar kita dengar dalam setiap aktivitas kita. Dengan slogan mengayomi dan melayani masyarakatnya yang fenomenal itu, kita selalu melihat dan bersinggungan langsung maupun tidak langsung dengan kepolisian. Mulai dari polisi lalu lintas di jalan raya hingga polisi yang mengejar teroris sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Bisa dibayangkan apa jadinya bila tidak ada polisi di negara ini.

Institusi kepolisian tidak bisa dipisahkan dari sebuah negara, hampir setiap negara yang ada di muka bumi ini memiliki kepolisian dalam menjaga ketertiban negaranya. Demikian dengan Indonesia yang juga memiliki institusi kepolisian. Di Indonesia sendiri polisi tidak hanya mereka yang menangkap maling atau perampok lalu memenjarakannya. Polisi diupayakan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan ditengah masyarakat dengan caranya yang mengayomi dan melindungi masyarakat. Tak pelak selama ini kita memiliki ekspektasi besar terhadap kepolisian untuk menciptakan hal tersebut, namun menjadi pertanyaan apakah ekspektasi tersebut masih pantas kita sandangkan dengan berkaca pada realitas yang terjadi selama ini.

Kepolisian tengah menjadi sorotan di masyarakat dewasa ini, bukan karena tengah heboh kasus korupsi Simulator SIM saja yang menjadikan kepolisian tengah di sorot, tapi lebih dari itu terindikasikan kasus-kasus besar yang terjadi dewasa ini di institusi kepolisian yang dilakukan oleh “oknum” telah mencoreng institusi kepolisian. Bahkan boleh dibilang ini hanyalah puncak gunung es dari sekian banyak “dosa-dosa” kepolisian kita mulai dar yang dilakukan oleh oknum polisi ditingkat polisi lalu lintas yang sudah menjadi rahasia umum bahwa kerapkali rentan terhadap sogokan hingga korupsinya Jendral Polisi. Sungguh miris sekali melihat kenyataan kepolisian kita bagai jauh panggang dari api untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Kita dibuat geleng-geleng kepala dengan kenyataan pelanggaran yang dilarang justru dilakukan oleh penegak hukumnya sendiri, dalam hal ini kepolisian.

Kepolisian tengah diterpa ujian maha dahsyat berupa krisis kepercayaan oleh masyarakat. Tak heran bila krisis kepercayaan terjadi di masyarakat, bukankah tak ada asap bila tak ada api, kepolisian kita harus mawas diri bahwasannya rakyat sudah mulai gerah dan muak dengan semua prilaku oknum polisi yang membuat negara bukannya semakin maju tapi makin terbelakang karena penegak hukumnya yang amburadul.

Maraknya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum polisi dan jauhnya prilaku polisi dari sikap mengayomi dan melindungi masyarakat telah sampai pada puncaknya. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian semakin lama semakin luntur akibat tingkah pola dan prilaku para oknum kepolisian yang tidak bertanggung jawab itu. Karena nila setitik rusak susu sebelanga mungkin pantas disematkan pada keadaan institusi kepolisian kita saat ini. Oknum-oknum yang ada di tubuh kepolisian yang melakukan suap-menyuap di pinggir jalan hingga korupsi milyaran telah mencoreng wajah kepolisian secara menyeluruh. Krisis kepercayaan masyarakat telah mencapai puncaknya, disinyalir hal ini merupakan akumulasi dari sekian banyak prilaku kepolisian kita yang tidak sesuai sebagaimana mereka seharusnya sebagai institusi penegak hukum bertindak dan berprilaku. Kemudaian timbul pertanyaan apakah dapat kita sebutkan bahwa buruknya wajah kepolisian kita saat ini hanya disebabkan oleh para segelintir oknum? Atau malah hampir semua yang ada di kepolisian melakukan pengingkaran terhadap tugasnya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat? Sulit bagi kita membuktikannya, namun tak mustahil indikasi yang mengarah kesana ada, spekulasi akan selalu ada. Tapi entah lebih dominan yang melakukan keburukan daripada yang kebaikan atau sebaliknya, tapi yang pasti institusi kepolisian jelas sudah tercoreng. Tak pelak hal ini menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi kepolisian kita, apakah mau berbenah untuk memperbaiki diri atau justru malah terus berkontribusi membuat negara makin kacau. Seperti yang kita tahu, belum selesai lagi kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat kita di pemerintahan, kita dihebohkan dengan korupsi yang dilakukan oleh Petinggi kepolisian kita berupa korupsi Simulator SIM. Bukan hal yang mengejutkan memang, karena sebelumnya juga kita sempat dihebohkan dengan pemberitaan beberapa waktu sebelumnya tentang rekening gendut petinggi kepolisian kita, namun berita ini lenyap begitu saja entah apa sebabnya, namun sudah lumrah kita ketahui bahwa sulit untuk membongkar kasus yang dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan.
Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan kasus korupsi Simulator SIM uang dilakukan oleh petinggi kepolisian kita, institusi kepolisan kita seolah mendapat tamparan keras dengan terbongkarnya kasus korupsin yang dilakukan petingginya. Dari kasus ini dapat kita lihat bahwa kepolisian sebagai institusi sebagai penegak hukum tidaklah bersih dan suci dari kesalahan. Tidak menutup kemungkinan banyak kasus-kasus lain yang belum terbongkar. Kita sebagai masyarakat berhak untuk terus mengawasi dan mendorong institusi kepolisian untuk terus berbenah dan memperbaiki diri.

Perbaikan institusi kepolisan harus dimulai dari tubuh kepolisian itu sendiri. Perbaiki kepolisian kita dengan memulainya dari pemimpinnya, karena pemimpin harus memberikan contoh pada bawahnnya, harus menjadi teladan bagi bawahannya dan hal itu tidak dapat terwujud bila pemimpinnya tidak baik. Seperti yang kita tahu bahwa ikan bila membusuk dari kepalanya terlebih dahulu. Begitupun dengan kepolisian kita boleh berspekulasi bahwa bisa saja kepolisian kita buruk karena petinggi kepolisiannya lebih dulu busuk. Tak berlebihan bila kita berasumsi demikian, terbukti dengan terbongkarnya kasus korupsi Simulator SIM oleh petinggi kepolisian kita.
Penerimaan dan perekrutan anggota polisi pun harus bersih dan bebas dari unsur kolusi dan nepotisme. Hal ini harus benar-benar dilakukan bila ingin membentuk kepolisian yang tangguh dan bersih dari kecurangan. Tak berlebihan bila kita ingin memperbaiki kepolisian dengan lebih dulu memperbaiki cara perekrutannya. Kemudian dengan terus meningkatkan integritas para anggota kepolisian juga harus terus senantiasa dilakukan, agar polisi kita benar-benar bisa amanah menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum yang sudah sepatutnya dapat mengayomi dan melindungi kita sebagai masyarakat.

Akhirnya harapan kita, kepolisian benar-benar serius mengembalikan kepercayaan masyarakat dan bukan hanya melakukan pencitraan semata. Bila kita lihat kepolisian memang sudah berusaha untuk memperbaiki dirinya dengan lebih melayani masyarakat sesuai dengan tugasnya yang mulia sebagai penegak hukum. Namun hal itu menjadi buyar berantakan dengan rentetan kasus korupsi dan suap yang dilakukan oleh oknum anggota polisi.

Masyarakat juga harus terus mendukung kepolisian agar terus berbenah memperbaiki diri. Dengan adanya timbal-balik saling mendukung kita berharap citra kepolisian semakin baik dan tidak hanya citranya saja yang semakin baik namun juga prilaku dan sikap kepolisian juga harus tambah baik.

Kepolisian telah mendapat citra yang amat buruk akhir-akhir ini, tak ada jalan lain selain terus berbenah memperbaiki tubuh kepolisian. Agar tidak ada lagi suap-menyuap dipinggir jalan dan korupsi milyaran di kantoran. Karena apa jadinya bila kepolisian tetap tidak berubah dan tidak memperbaiki diri, bisa saja negara kita ada diambang kegagalan bila institusi penegak hukumnya yang merupakan institusi yang paling krusial tidak mampu merubah diri kearah yang lebih baik.
»»  READMORE...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...