Melihat kecenderungan aktifitas pasangan
muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa
pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab
sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya
dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon,
tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemua
langsung.
Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada ketentuan tentang kesetiaan dan seterusnya.
Padahal
cinta itu pada hakikatnya adalah rasa ikut memiliki, sebuah apresiasi
dari sebuah rasa tanggung-jawab, sebuah ikatan yang teramat kuat, sah
serta resmi dengan landasan hukum. Dan cinta adalah harga dari sebuah
kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak ada, sehingga
jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.
Batas Pacaran
Hampir sulit membuat batasan mana
pacaran yang dibolehkan dan mana yang tidak. Sebab sekali dibuka pintu
untuk membolehkannya, hampir tidak ada batas lagi untuk melakukan
hal-hal yang lebih jauh. Meski awalnya hanya sekedar saling bertemu
dengan didampingin mahram, tetapi siapakah yang bisa menjadi untuk tidak
terjadinya hal-hal yang lebih lanjut seiring dengan perjalanan waktu
dan berbunganya hati.
Hampir semua kencan yang sampai kepada
zina berawal dari yang biasa-biasa saja. Atau yang belum melanggar norma
etika masyarakat. Tapi hampir bisa dipastikan bahwa semua itu akan
terus berlanjut sebagaimana iringan musik syetani, sehingga lama-lama
bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan
bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah
merupakan hal yang biasa terjadi pada pasangan yang pacaran. Sekali
tidak ada yang bisa menjaganya, sehingga kalimat yang pasti hanya satu:
JANGAN DEKATI ZINA.
Sehingga kita juga sering mendengar istilah Chek-In,
yang awalnya adalah istilah dalam dunia perhotelan buat mereka yang
menginap. Namun hotel pada hari ini juga berfungsi sebagai tempat untuk
berzina pasangan pelajar dan mahasiswa, selain pasangan tidak syah
lainnya. Bahkan hal ini sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan hotel
sendiri dengan memberi kesempatan untuk short time, yaitu kamar
yang disewakan secara jam-jaman untuk pasangan di luar nikah. Pihak
pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan yang
melakukan chek-in itu suami istri atau bulan, sebab hal itu dianggap
sebagai hak asasi setiap orang.
Selain di hotel, aktifitas percumbuan
dan hubungan seksual di luar nikah juga sering dilakukan di dalam rumah
sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan kedua orang tua. Maka para pelajar
dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan hubungan seksual di luar nikah
di dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan, pengawasan dan
perhatian dari anggota keluarga lainnya.
Data menunjukkan bahwa seks di luar
nikah itu sudah dilakukan bukan hanya oleh pasangan mahasiswa dan orang
dewasa, namun anak-anak pelajar menengah atas (SLTA) dan menengah
pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola budaya yang permisif
(serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi
kesempatan berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus ‘hamil duluan’
dan aborsi ilegal.
Fakta dan data lebih jujur berbicara
kepada kita ketimbang apologi. Maka jelaslah bahwa praktek pacaran
pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh
sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem
hukum sekuler warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang harus
dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak akan
bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan
hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi
simpati.
Maka kalau boleh disebutkan secara tegas sesungguhnya Islam tidak mengenal istilah pacaran, paling tidak dengan pengetian pacaran yang selama ini dikenal masyarakat umum.
Pacaran Bukanlah Penjajakan/Perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap
sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, perkenalan atau
mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan
yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan
gambaran sesungguhnya dari data yang diperlukan dalam sebuah persiapan
pernikahan.
Dalam format mencari pasangan hidup,
Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu
diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang
terkenal itu.
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wanita
itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3]
kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan
selamat.” (HR Bukhari, Kitabun Nikah Bab Al-Akfa’ fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha’ Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661).
Selain keempat kriteria itu, Islam
membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui
hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh
yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak
keluarga menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta’aruf.
Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab
kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi
terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik,
bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam
kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian
kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi
bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering
bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum. Bahkan rumah yang
mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi
sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang
kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya sebuah penyesatan dan pengelabuhan.
Dan tidak heran kita dapati pasangan
yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama
setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan
membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan
melainkan ajang kencan saja.
(Source : Sebuah File di PC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar