Sarjana Yahudi CC Torey dalam bukunya,
the commercial-theological term in the Koran, menyimpulkan bahwa
istilah-istilah ekonomi dan bisnis dalam Al-Qur’an bukan hanya merupakan
kiasan-kiasan ilustratif tetapi merupakan butir-butir doktrin yang
paling mendasar dalam bidang ekonomi dan bisnis.
Al-Qur’an mempunyai sikap yang kuat dan
tegas dalam masalah ekonomi dari bisnis. Mengikuti model Ali Syari’ati
dalam memahami kandungan Al-Qur’an dari nama-nama suratnya saja
mengandung pesan-pesan bahkan ajaran tentang berbagai masalah ekonomi.
Kehidupan harus dijalankan dengan kerja
keras yang dilandasi keimanan. Hal ini bagi Quraish Shihab (2001),
bermakna bahwa hubungan iman dan kerja bagaikan hubungan akar, tumbuhan
dan buahnya. “Dan bahwasanya seorang manusia tiada yang akan memperoleh
kecuali selain apa (hasil) yang diusahakannya sendiri” “Amal-amal yang
tidak disertai iman tidak akan berarti disisi-Nya. Berdasarkan hubungan
itu, maka ekonomi dan bisnis diperintahkan agar dilakukan setelah
melakukan shalat sebagaimana tersurat dalam QS. Al Jumu’ah (62:9).
Dalam ilmu ekonomi, disebutkan adanya
aktivitas ekonomi karena adanya need dan want pada diri manusia. Dalam
Al-Qur’an hal ini disebut fitrah yang dihiaskan pada manusia yang
disebut, hubbub asy-syahwatt (QS. Ali Imran: 3: 14). Dengan fitrah ini,
manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan terhadap harta benda yang harus
dikelola dan dikembangkan sehingga menghasilkan kemanfaatan dan
kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain.
Dalam kisah-kisah Al-Qur’an juga, banyak
ditemukan kaitan antara aktor dalam kisah tersebut yang secara kental
bersinggugngan bahkan mengenai masalah perekonomian. Sebagai salah satu
contoh dapat disebutkan misalnya pada kisah Nabi Yusuf dan Nabi Syuaib
terlihat jelas ada suatu konsep ekonomi mengenai bagaimana mengelola
perbendaharaan negara, konsep ekonomi yang harus dilandasi dengan suatu
ukuran dan timbangan yang penuh dan adil.
Paparan singkat ini, kiranya sudah
ketegasan bahwasanya Al-Qur’an benar-benar mempunyai doktrin-doktrin
mendasar mengenai bidang ekonomi dan bisnis.
MUHAMMAD SEBAGAI EKONOMI
AFZALURAHMAN dan Muhammad: Encyklopedia of Seerah,
menyatakan ketika berusia 25 tahun, Muhammad mudah diperkenalkan oleh
pamannya Abu Thalib kepada saudagar kaya Siti Khadija binti Khuwailid
dengan maksud untuk menjadikannya sebagai mitra usaha dalam menjalankan
bisnis Siti Khadija menerima tawaran Abu Thalib dan memberikan
kepercayaan kepada Muhammad untuk melakukan perdagangan ke pasar-pasar
di Busra. Dalam kerja sama ini, Khadija mendapat keuntungan yang
berlipat ganda dibangding dengan pedagang-pedagang lain yang belum
pernah diraih oleh pedagang sebelumnya.
Hubungan kerja sama di atas menurut suatu
pendapat dilakukan dengan sistem bisnis bagi hasil atau yang dikenal
dengan sistem mudharaba. Khadija merupakan pemilik modal atau shahibul
mal sedangkan Muhammad sebagai pemilik keahlian atau mudharib. Keduanya
sepakat atas suatu kerja sama dan bersepakat atas pembagian keuntungan
dan kerugian ketika usaha kerja sama itu usai. Dengan konsep Muhammad
melakukan kegiatan bisnis. Kegiatan yang kemudian menjadikannya sebagai
pembisnis sukses.
Dalam menjalankan aktivitas ekonomi dan
bisnisnya, Muhammad meletakkan landasan-landasan moralitas. Suatu hal
yang tidak lazim bahkan bertentangan dengan dengan kebiasaan pada saat
itu. Kegiatan ekonomi dilakukan dengan cara-cara yang jujur, terbuka,
saling menguntungkan, jauh dari penipuan. Apabila terdapat dari
kecacatan pada suatu barang, maka disebut apa adanya. Dalam suatu
transaksi atau perjanjian dipersyaratkan agar kedua belah pihak sampai
pada tingkat saling rela, tanpa ganjalan sedikitpun apabila dirugikan.
Inilah yang kemudian dilukiskan dalam Al-Qur’an surah an-Anisa: 29
dengan kata kunci illa an takuna tijaratan’an taradhimminkum.
Dalam pandangan umum ekonomi, ekonomi
dikenal dalam bidang keilmuan teoritis mengenai ilmu ekonomi dalam
berbagai cabangnya dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, minus
keahlian praktis. Sedangkan ahli ekonomi yang bersifat praktis diawali
oleh istilah ahli bisnis, pembisnis atau pengusaha. Namun apabila
dipertanyakan ulang, dapatkah seorang secara otomatis berhasil dan
sukses sebagai pengusaha tanpa memahami persoalan-persoalan ekonomi?
Jawaban pertanyaan ini, mengarahkan makna bahwa ekonomi adalah
orang-orang yang mempunyai keahlian dalam bidang ekonomi yang meliputi
baik sisi teoritis maupun keahlian praktis, atau salah satunya.
Dengan pemaknaan itu, fakta historis
keberhasilan dan kesuksesan Muhammad dalam bidang ekonomi dan bisnis
mengarahkan pada kebenaran faktual bahwa Nabi Muhammad adalah ekonom.
Penyebutan Nabi sebagai ekonom bukan dimasudkan meniadakan atau
mereduksi fungsi kenabiannya selain bidang ini. Sebaliknya memaknai
fungsi kenabian sebagai misi universal pada semua aspek kehidupan
manusia, termasuk di dalamnya bidang ekonomi dan bisnis.
SDM EKONOMI ISLAM
Sumber daya manusia ekonomi Islam, kini
menempati posisi yang signifikan dalam dunia SDM secara umum. Akselerasi
pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia, mau tidak mau telah
menempatkan SDM ekonomi Islam sebagai SDM yang dicari-cari. Pada tahun
2002, majalah nasional modal menurunkan reportase dengan judul besar
“dicari eksekutif syariah”. Dalam reportase ini dijelaskan bahwa ketika
sejumlah perbankan nasional beramai-ramai melakukan konversi ke bank
syariah maka, posisi-posisi kunci baik pada tataran direksi maupun
manager secara otomatis membutuhkan SDM ekonomi Islam.
Namun karena dari aspek pendidikan formal
SDM ini belum ada, maka yang dilakukan adalah melakukan pendidikan
singkat untuk mengisi posisi-posisi strategis tersebut.
Dengan kondisi tersebut, mulai akhir
dekade 90-an pengembangan SDM ekonomi Islam secara terstruktur telah
disiapkan bukan hanya melalui program short course tetapi melalui
pendidikan formal yaitu perguruan tinggi ekonomi Islam. Dalam
perkembangannya pengembangan ke arah perguruan tinggi ekonomi Islam di
Indonesia mengalami empat fase; pertama, fase pelatihan-pelatihan
singkat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan informal; kedua,
fase pengembangan pendidikan ekonomi Islam dari perluasan jurusan
Muamalat di Fakultas Syariah; ketiga, fase perluasan kegiatan akademik
dengan mengadakan mata kuliah mata kuliah ekonomi Islam dalam bingkai
kegiatan ekstra kurikuler. Atau fase wider mandate yang diberikan oleh
Diknas dan Depag kepada salah satu perguruan tinggi untuk
menyelenggarakan program ekonomi Islam; dan keempat, fase kristalisasi
program studi ekonomi Islam seperti sekolah tinggi ekonomi Islam di
bawah naungan Dirjen Bagais Departemen Agama RI.
Ketika sistem ekonomi konvensional
menemui titik jenuh, dengan berbagai kelemahannya, ekonomi Islam
diharapkan dapat menjadi alternatif baik sebagai bangunan teoritis
maupun praksisnya dalam melakukan pembangunan manusia dan peradabannya.
Memang diakui bahwa kontribusi awal ekonomi Islam bermula dari
nilai-nilai kritik terhadap sistem perekonomiannya yang ada, baru
kemudian konseptualisasinya. Misalnya nilai tentang harta benda, nilai
hakikat kebutuhan manusia, nilai tentang harga, nilai tentang sikap
konsumen produsen, nilai-nilai yang mengatur dalam pemenuhan kebutuhan
dan pengembangan harta benda dan lain-lain yang berbeda dengan
nilai-nilai ekonomi konvensional.
Kekuatan normatif dan historis demikian,
sesungguhnya merupakan kekuatan terpendam yang belum tersentuh, apalagi
diaktualisasikan menjadi semacam cultural force dalam kehidupan
bermasyarakat. Inilah salah satu elian vital yang harus diusung oleh
para sarjana ekonomi Islam yang baru dilahirkan.
UNITAS BISNIS DAN ETIKA
Rekonstruksi etika bisnis
Penelitian rekonstruksi etika bisnis
perspektif Al-Qur’an, berangkat dari kesadaran bahwa kondisi ekonomi
umat Islam secara umum masih terpuruk. Salah satu sebab utamanya adalah
jauhnya nilai-nilai etika bisnis dalam aktivitas keseharian ekonomi dan
bisnis. Bahkan masih sering terdengar ungkapan; “Mencari rezeki yang
haram saja susah apalagi mencari rezeki yang halal. Apabila dalam bisnis
kita jujur maka akan ajur (hancur)”.
Etika bisnis merupakan ilmu yang
dibutuhkan banyak pihak tetapi masih bersifat problematis dari sisi
metodologis. Ilmu ini dibutuhkan untuk merubah performa dunia bisnis
yang dipenuhi oleh praktik-praktik malbisnis. Praktik malbisnis adalah
business crimes atau business tort yaitu aktivitas bisnis yang melanggar
hukum atau termasuk sebagai kejahatan bisnis. Business crimes dikenal
juga sebagai white collar crimes karena biasanya dilakukan oleh
pihak-pihak yang mempunyai status sosial yang kuat dan didukung oleh
kekuatan politik (Suwantoro, 1990).
Etika bisnis Al-Qur’an
Bagaimanakah pandangan Al-Qur’an tentang
bisnis dan etika bisnis. Al-Qur’an berisi lebih banyak membahas tema
kehidupan manusia baik tataran individual maupun kolektivitas. Tema
pertama dan terakhir Al-Qur’an adalah mengenai perilaku manusia (Fazlur
Rahman, 1992). Sebagai sumber nilai ajaran, ia memiliki sifat yang umum,
karena itu diperlukan upaya dan kualifikasi, tertentu agar dapat
memahaminya. Menurut Asghar Ali (1991), Al-Qur’an bukan hanya berbahasa
Arab, namun juga telah menjadi suatu simbol yang validitas dan
vitalitas, maknanya terletak pada interpretasi dan reinterpretasi
simbol-simbol tersebut sesuai dengan perubahan situasi ruang dan waktu.
Dari paparan ketiga landasan praktik mal bisnis di atas, maka prinsip-prinsip etika bisnis Al-Qur’an adalah:
Kesatuan (Unity)
Yang dimaksud kesatuan adalah kesatuan
sebagaimana terefleksi dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan
aspek-aspek kehidupan muslim, baik dalam bidang ekonomi, politik,
sosial, menjadi suatu “homogeneous whole” atau keseluruhan yang homogen
(Naqvi, 1993). Tauhid merupakan konsep serba ekslusif dan serba
inklusif. Atas dasar pandangan prinsip ini, maka antara etika dan
ekonomi atau etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun
horizontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem
Islam yang homogen yang tidak mengenal keterputusan.
Kesetimbangan (keadilan)
Dimensi horizontal ajaran Islam
keseluruhan secara hamoni pada alam semesta. Hukum dan tatanan yang kita
lihat pada alam semesta mencerminkan kesetimbangan yang harmonis.
Tatanan ini pula yang dikenal dengan sunnatullah. Sifat kesetimbangan
bukan hanya karakteristik alami, melainkan merupakan karakteristik
dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim. Kebutuhan akan
sikap kesetimbangan ini ditekankan Al-Qur’an dengan menyebut umat Islam
sebagai ummatan wasathan.
Kehendak Bebas
Kehendak bebas merupakan kontribusi Islam
yang paling orisinal dalam filsafat sosial tentang konsep manusia
“bebas”. Hanya Tuhan yang bebas, namun dalam batas-batas tertentu
manusia mempunyai kebebasan. Manusia sebagai khalifah dimuka bumi,
mempunyai kehendak bebas untuk mengarahkan hidupnya kepada tujuan
pencapaian kesucian diri.
Pertanggungjawaban
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal
yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya
pertanggungjawaban. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan,
manusia perlu mempertanggungjawabkan tindakannya. Prinsip ini menetapkan
mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia secara bertanggung
jawab.
Kebenaran kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini mengandung
makna kebenaran, kebaijkan dan kejujuran. Kebenaran adalah nilai
kebenaran yang dianjurkan. Dalam bisnis kebenaran berarti, niat, sikap,
dan perilaku benar, yang meliputi, proses akad, memperoleh komoditas,
pengembangan maupun upaya meraih dan menetapkan keuntungan. Adapun
kebajikan adalah sikap ihsan, beneviolence yang merupakan tindakan yang
dapat memberi keuntungan terhadap orang lain.
Menghidupkan Tradisi Bisnis
Begitu kuatnya dorongan Al-Qur’an tentang
ekonomi dan binis yang dapat dicermati berbagai istilah atau kata kunci
dalam Al-Qur’an yang terkait dengan dunia ekonomi dan bisnis.
Kisah-kisah para Nabi seperti Nabi Yusuf dan Nabi Syuaib, banyak
mengandung nilai-nilai dasar prinsipil tentang ekonomi dan bisnis.
Demikian pula sekian banyak nama-nama surat dalam Al-Qur’an mengandung
masalah-masalah pokok yang terkait dengan masalah ekonomi.
Demikian pula, kesuksesan Nabi Muhammad
sebagai pebisnis yang bertumpu pada kekuatan etos kerja dan etos ekonomi
dalam kultur masyarakat yang menempanya merupakan khazanah yang luar
biasa untuk dikaji sebagai penguat apa yang disebut teologi ekonomi dan
bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar